Selasa, 24 November 2009




Letih...
(untuk seseorang yang masih mencintaiku....)

Letih… ku berdiri di bawah terik mentari
Semenjak engkau melangkah menjauh pergi
Hingga rambut ini mulai memutih
Masih… tak kutemui engkau kembali

Letih… hanya saja raga ini b’lumlah mati Hingga jiwa terus saja meminta tuk menunggumu disini Sampai engkau hadir…


Masih disini.....


Masih disini....*


Aku tak pernah berlari meninggalkanmu !
Melangkah menjauhi pun tak pernah terlintas
Aku masih disini…. Aku masih ada…
Namun sebait pun kini tak sempat lagi kubuat

Setiap hari kuhanya bisa berkata pada hati
Besok mungkin dapat kuluangkan waktu lagi
Tuk menulis tentang hati…
Dalam sebentuk puisi

Nyatanya aku tak pernah sempat
Ragaku s’lalu saja terlebih dahulu penat
Sehingga asa dan rasa tak pernah sempat
Dapatkan waktu yang tepat untuk puisi-puisi baru kubuat

Hingga sekali lagi di pagi ini
Kerinduan pada puisi kembali menjadi
Curahan hatiku dalam sebentuk puisi
Semoga esok aku bisa segera kembali


* didalam hati

Entah....




Entah....



Entah kenapa saat dia hadir kembali... hati ini meragukan ketulusan niat cintanya. bukan bearti hati ini sudah memiliki hati yang lain, melainkan hati ini tak ini dibohongi dan disakiti lagi oleh cinta yang sama.


(I'm not love you anymore, like i love you yesterday)

Senin, 09 November 2009

Rindu Kasih

rindu kasih

aku tak tahu
dimana kasihku kini
masihkah ia mengingatku
atau tlah melupakanku

hatiku menangis
menanti hidup
jiwa ini sepi tanpamu
ku lelah jiwa dan raga

jiwaku merindukan jiwamu
hatiku merindukan hatimu
jauh-jauh waktu
aku memikirkan dirimu

rinduku padamu
laksana kemarau panjang
yang menanti air

Kekasih Yang Hilang



Kekasih yang hilang


Langkah telah ku
ayunkan,,
Hari-hari
telah ku lalui,,
Terbayang wajah
senyumMu
terpaut paras
mataMu,,
Semua jadi
keindahan
dalam diriMu,,
Andai saja kau
tau isi hatiku
bahwa saat ini
aku
merindukan
kehadiranMu,,
Sampai kapan
pun kau ku
ingat selalu
hingga kalbuku
terkubur di
sanubari,,
Diriku hanya
bertanya pada
ilalang yang
bergoyang,,
Namun tiada
jawaban
darinya,,
Yang ada hanya diam dan
kebisuan…?!

Untuk Sang Bidadari


Untuk Sang Bidadari



Ketika rengkuhnya dunia menerpa setiap insan
Saat mentari menyingkapkan hangatnya dengan rengkuhan sang rembulan
Kan ada seorang manusia berjalan dengan sendiri
Menempuh jalan yang sepi dengan setiap naluri
Yang berjalan tuk mengungkapkan sebuah kisah
Untuk diceritakan…….
Untuk dikenang……..

Dikala sepi melanda jiwa…..
Ia berpuisi……
Tuk sang kekasih hati…

Engkau yang ayu dengan wajahnya
Engkau yang lugu dengan sikapnya
Engkau yang manis dengan keelokannya…

Duhai sang bidadari….
Di manakah kau berada
Di hati mana engkau berlabuh
Dan untuk siapa engkau diciptakan????

Ia menjawab :
Aku berada di tempat orang-orang yang mengabdi
Di hati insan yang suci aku berlabuh
Untuk TUHAN dan untuk orang yang telah mendapatkan syafaatnyalah
aku diciptakan…..

Wahai engkau lelaki kesepian…..
Niscaya engkau akan menemukan aku….
Aku di sini selalu menantikanmu…..
Akupun merindukan orang yang pantas untuk diriku….
Kuatkan Imanmu dan tinggikanlah ilmumu
Dan bersabarlah sesungguhnya
Tuhan bersama Orang-Orang Yang Sabar

Kita kan bertemu…..
Jika engkau mampu melaksanakan Titah-Nya
Dan Menjauhi larangan-Nya

Untuk apalah kecantikanku
Bila orang yang kucari tiada kemari
Ku menanti dekap orang yang
benar-benar Tahu Akan-Nya….

Kunanti engkau di Surga Bermatakan Berlian…

WAHAI ENGKAU SANG PENGELANA

SEKEPING RINDU

Sekeping rindu
MemburuKU di rana sepi
Mengekang & membuikan tiap sendi gerakku
Aku muak,aku bosan
aku ign teriak
Atau bunuh sajalah aku
Lalu kubur aku dalam gundukan sampah
Bersama rongsokan & makanan basi
Agar aromaku tercium olehnya
& smoga ia datang mnziarahiku
Lalu mendoakanku

Rabu, 28 Oktober 2009

I HATE MY LIFE SO MUCH ......
I HATE MY LIFE SO MUCH ......
I HATE MY LIFE SO MUCH ......
I HATE MY LIFE SO MUCH ......
I HATE MY LIFE SO MUCH ......
I HATE MY LIFE SO MUCH ......
I HATE MY LIFE SO MUCH ......
I HATE MY LIFE SO MUCH ......
I HATE MY LIFE SO MUCH ......
I HATE MY LIFE SO MUCH ......
I HATE MY LIFE SO MUCH ......
I HATE MY LIFE SO MUCH ......
I HATE MY LIFE SO MUCH ......
I HATE MY LIFE SO MUCH ......
I HATE MY LIFE SO MUCH ......
I HATE MY LIFE SO MUCH ......
I HATE MY LIFE SO MUCH ......
I HATE MY LIFE SO MUCH ......
I HATE MY LIFE SO MUCH ......
I HATE MY LIFE SO MUCH ......

Senin, 26 Oktober 2009

Aku menulis....

Aku menulis surat ini untukmu, seperti tak pernah bisa bersabar dalam mencintaimu. Tapi inilah cinta, bertahun kata tak juga reda, mendera kita kembali serekah matsnawi dalam gairah rumi. Lalu hilanglah jarak ketika kelak warna kembali pada senja, sebelum kita terpaku untuk rindu yang memilih tak berhenti menganga dalam seribu puisi dan doa. Betapa dahaga jarak ini, sayang, ketika kita masih saja begitu jauh saling betukar mimpi dan keluh kesah, saling memangkas kecemasan atas takdir tentang manusia yang dilahirkan hanya menjadi semacam reranting usia yang gemetar menahan getar cuaca sebelum akhirnya binasa—dan, dengan kecemasan yang sama, kau terus membujukku untuk tak mempercayainya.

Baiklah, jangan terus bersedih, sayang, tersenyumlah. Kerinduan tak pernah sejalan dengan kabut ketakutan; ia bersahabat dengan kekuatan harapan. Kekuatan untuk tetap mempercayai cinta dalam kesedihan adalah hadiah yang paling megah melebihi persembahan cinta Jahan pada Mumtaz.

Selasa, 20 Oktober 2009

Itu ....

Meski sejenak bertemu, aku bahagia bisa kembali melihatmu
Di batas-batas kerinduan dan kehampaan tak terasa airmata menetes di pipiku

Hati yang mati suri, tiba-tiba terjaga dan berkata bahwa sesungguhnya rasa masih ada
Baru kumengerti bahwa rasa tak pernah pergi dan sepertinya takkan terganti

Sekeras apapun kumencoba, selemah apapun daya tuk mengingatnya
Hati miliki pilihannya sendiri yang tak bisa diatur oleh akal

Kukira aku sudah berhenti berharap di sekian waktu yang lalu
Kukira aku tak punya lagi hasrat untuk bertemu
Kukira… aku takkan lagi melihatmu seindah seperti dulu
Hingga kemarin aku tahu bahwa segalanya tak ada yang berubah
Hanya setumpuk perkiraanku saja yang salah

Kenyataan

Baru saja kutulis namamu di diary harianku
Belum habis semua rasa bahagia kutuang
Haruskah kini kutuliskan tentang lara,
tentang kesendirian yang tak kutau akhirnya ?

Ku tau kau takkan pernah menjawabnya
Sebab kau pergi saat ku masih ternganga
Terbuai segala pesona rasa jatuh cinta
Haruskah kurobek semua seolah tak pernah ada ?

Cinta itu ....



Keberadaan cinta sebenarnya tak sepenuhnya mampu merubah seseorang, karena kadang cinta hanyalah kesemuan yang tak berujung, ketika sebuah kepastian tak kunjung datang, maka cinta akan pergi seiring dengan berlalunya waktu, karena cinta pada dasarnya sama dengan manusia, yang butuh asupan gizi agar tetap hidup, butuh juga air untuk minum agar tetap tumbuh subur dalam hati kita, butuh juga tempat tinggal yang nyaman dan bersih agar cinta bisa beristirahat dengan damai dan tenang, ya . . . itulah artinya cinta bagiku!

Keyakinan

Ada bayang yang tak pernah pergi
Ada nama yang s’lalu mendiami
serta seutas wajah yang menerangi
Pada hati…bangkitkan semangat diri
tuk lalui hari-hari

Meski kutau bagiku takkan mungkin lagi ada dirimu
Tetap saja kubiarkan engkau mendiami seluruh taman asa
di antara kuntum bunga mawar yang pernah ada diantara kita
Merekah indah diantara ‘harap dan nyata’

Ada keyakinan yang tak terbeli
Oleh ribuan hari-hari penantian hati
Susuri hidup… walau tertatih seorang diri
dan kau tetap disana, diami sudut paling sunyi
dan suci…

Letih

Letih*

August 7th, 2009

Letih… ku berdiri di bawah terik mentari
Semenjak engkau melangkah menjauh pergi
Hingga rambut ini mulai memutih
Masih… tak kutemui engkau kembali

Letih… hanya saja raga ini b’lumlah mati
Hingga jiwa terus saja meminta tuk menunggumu disini
Sampai engkau hadir…
Sampai larut penantian menjadi bagian dari takdir

*from: anggrekbiru.com

Minggu, 11 Oktober 2009

Balada (The Sequel) - Behind The Story


BALADA (THE SEQUEL)

Behind The Story



18 Juni 2006 7:50pm

Pelataran air mancur, Plaza Indonesia


Aku berdiri di dekat pintu masuk Plaza Indonesia. Mataku terpaku memandangi jam di layar ponselku. Sudah lewat duapuluh menit semenjak janji pertemuanku dengan seorang pemuda aku buat. Jantungku berdegup cepat. Aku gugup. Aku memberianikan diri menemui seorang pemuda yang aku kenal lewat situs komunitas pertemanan yang sedang popular.


To: Ian
From : Ko2
Date/time: 18/06/2006 – 8:10pm
Message:
Ian dan sampai dimana?


To: Ko2
From : Ian
Date/time: 18/06/2006 – 8:14pm
Message:
Dideket pintu masuk yang ada air mancurnya.


Pemuda itu belum tahu posisiku. Aku juga bingung di mana posisiku berada. Ini pertama kalinya aku ke Plaza Indonesia. Aku merasa tabu untuk masuk ke dalam Plaza. Plaza tersebut begitu elegan dan eksklusif tidak sebanding dengan diriku yang biasa saja.

Kring… kring….

Pemuda yang ingin aku temui menghubungiku.

“Disebelah mana?”

“Pokoknya dipintu masuk yang ada air mancurnya”

“Ok, koko kesana!”

Jantungku semakin berdegup kencang. Aku semakin gugup. Keringat mengucur disekujur tubuhku. Aku melangkah ke tepian jalan raya menjauhi pintu masuk. Masih ada sekian detik untukku supaya bisa segera pergi meninggalkan tempatku berdiri. Masih ada kesempatan buatku menghilang dan tak memulai sebuah pertemuan yang akan menghasilakan sebuah cerita.



Aku bingung. Aku sudah terlanjur berjanji dengan pemuda tersebut. Aku memalingkan badanku untuk tak menatap ke arah pintu masuk. Aku segera berdoa supaya tiba-tiba saja pemuda itu ada keperluan mendadak dan membatalkan janjinya untuk bertemu denganku.


Tapi sepertinya sudah terlambat. Aku bisa mendengar sepasang langkah kaki mendekat ke arahku. Aku mencoba menyangsikan untuk tidak mendengarnnya. Aku tak bisa memutar sang waktu. Pemuda itu berdiri dibelakangku. Kita hanya berjarak beberapa meter saja. Parfum yang ia kenakan sudah bisa aku cium. Pemuda itu begitu dekat.



Aku memberanikan diriku untuk membalikkan tubuhku menghadap pemuda tersebut. Aku menatapnya dan pemuda itu juga menatapku. Mata dengan mata saling memandang. Pemuda itu tersenyum ke arahku. Kami tidak begitu mengenal satu sama lain. Tapi aku merasa pemuda itu telah ada di dalam tubuhku beratus-ratus tahun yang lalu. Menunggu untuk dibangkitkan.


Aku tak sanggup untuk berkata-kata. Kata-kata di dalam kalimat terasa hampa. Aku berdiri di depan seorang pemuda yang aku kagumi. Aku tak mengerti kenapa aku memberanikan diriku untuk bertemu dengannya. Sebuah keputusan yang menentukan segalanya. Keputusan yang menghasilkan cinta dan air mata.

Kami berkenalan. Setengah perasaan di dalam lubuk hatiku masih menyangsikan pertemuan kami. Aku tak ingin terseret terlalu jauh. Setengah bagiannya lagi menginginkan supaya aku bisa tetap bersamanya lebih lama. Pemuda itu mengajakku untuk makan malam. Hatiku mengatakan iya namun mulutku mengatakan tidak. Aku bingung.


Aku tahu sekali pertemuan itu akan terjadi dan entah kenapa aku percaya sejak awal bahwa dia selalu mencariku selama ini. Mata itu bicara. Mata itu merindukan kedatanganku. Mata itu tersenyum memandangku. Pertemuan itu berlanjut. Lakon sandiwara mulai dimainkan. Aku dan pemuda tersebut.

Senin, 05 Oktober 2009




[Malam]



Tidak seorangpun ada yang mengerti ataupun memahami. Jutaan titik-titik bergandengan membentuk sebuah goresan garis lurus kemudian beberapa garis lurus saling bergandengan membentuk kotak. Kotak-kotak yang bersebelahan bahu membahu membentuk balok. Balok yang kokoh saling susun menyusun membangun sebuah ruangan raksasa.


Sebuah ruangan raksasa yang memaksaku merasakan tak ada kawan, terkunci dan tergembok jauh dari kerumunan ramai. Aku tak pernah mengerti kenapa Aku bisa berada didalam ruangan raksasa ini. Tak seorangpun ada yang pernah mengetahui mengapa titik-titik itu membentuk misteri pada kalimat-kalimat menyapa sepi hingga pada suatu ketika terjawab pada sebuah mimpi semalam panjang. Mimpi yang sempurna tentang hari kemarin, esok dan lusa.


Biarkanlah titik – titik itu tetap menjadi misteri. Bersembunyi dalam hentakan seribu satu kebisuan yang kerap menuai dera lantas menciptakan sepi. Titik-titik tersebut terbentuk akibat adanya kesamaan perasaan dan visi dimasa depan. Titik-titik juga bisa bergabung membentuk sesuatu yang abstrak, sesuatu yang tak bisa dicerna maknanya.


Saat ini titik-titik itu sudah menjelma menjadi sesuatu yang amat kokoh. Titik-titik itu telah berubah dalam proses metamorfosis yang amat menyakitkan. Mereka telah mempelajari bagaimana caranya untuk mengerti arti kebersamaan dengan menyampingkan ego serta perbedaan yang menonjol.


Titik-titik membentuk suasana malam yang perkasa. Semua hal yang sudah masuk ke dalam ruangan suasana malam akan merasakan kematian yang amat sangat. Ruangan raksasa yang tertutup rapat. Kematian malam tercipta dari ruangan raksasa tersebut.


Ketika ruangan raksasa mulai terbuka, aroma kematian bisa keluar. Aroma kematian itu akan merasuki setiap jiwa yang sedang terlelap disepanjang malam. Aroma kematian itu sepertinya ingin menagih janji yang pernah diucapkan oleh penguasa malam. Aroma kematian bebas memilih siapa saja yang akan dijadikan mangsanya, tak terkecuali Aku.


Dimalam ini aku kembali terbangun pada sisa-sisa penghujung malam yang belum sempat aku nikmati. Rasa dingin mengajari aku untuk membiasakan diri ini tak dipeluk dan aku juga mulai mempelajari hidup tak bertemankan dirimu. Disaat ini juga diriku berjuang mengarak wujudmu yang tak pernah ada, tak tampak oleh indera maupun oleh panca indera. Aku ingin menghadirkannya didalam malam yang panjang.


Aku butuh sesuatu untuk dipeluk. Tak penting bentuknya seperti apa ataupun wajahnya sejelek apapun.


“Yang penting aku memiliki teman.”


Jantungku mulai bersymphoni kesunyian malam. Aroma kematian mulai menaungi angkasa kotaku. Dingin yang menyerang mencoba cegah dan memangari aku untuk berfrase tentang wujudmu. Sepertinya ada yang tak lengkap dimalam ini.


“Mengapa ada yang kurang?”


Aku ingin menatapmu dan mulai menyentuhmu, itu yang aku mau. Begitu banyak cerita yang tak sempat dibacakan karena malam memaksa aku untuk bersikap manis melewati rasa takut yang membayangi. Aroma kematian mulai aku hirup dan segera memenuhi seisi paru-paruku menjadikan dadaku merintih ketakutan.


“Inikah rasa takut yang aku rasakan?”


Didalam sebuah ketakutan yang membayangi jika raga ini tak bisa bernafas lagi. Aku belum sempat menuliskan surat wasiat pada kekasihku. Banyak hal yang belum sempat aku katakan pada orang lain.


“Aku masih ingin bisa bernafas!”


Jiwaku menolak terpejam. Malam kacau memasuki fikiranku, Ia merobek layar yang baru saja dibentangkan. Semua tampak hening dipikiranku. Suara-suara yang memasuki setiap jengkal genderang audio kini tak berasa lagi. Aku sedang dalam kondisi terkurung dan terkunci.

Aroma kematian menciptakan malam yang semakin malam. Malam yang tercipta terasa lebih pekat dan gelap. Para penghuni malam terpaksa terusir dari kedudukan yang dititahkan pada mereka.

”Kepada siapa aku meminta bantuan?”

“Pada bulan?”

Malam ini bulan tak tampak.

“Pada bintang?”


Sudah beberapa hari ini hujan menghujam kotaku, mengajak awan gelap sehingga menutupi angkasaku.

“Pada malam?”


Aku takut dengan malam, gelap yang sering Ia tawarkan membuatku merasa ngeri. Jiwaku ingin memberikan kepastian pada malam yang panjang. Aku tak ingin malam menemani ku.

“Harus ku sesalkan kemana keraguan ini?”

Sedangkan mulut ini terbungkam tak kuasa berucap sebuah kata-kata pertolongan. Aku tak ingin berhenti terlalu awal walupun jalanku sudah dipagari oleh norma-norma yang dikesampingkan. Aku juga tak ingin maju terlalu didepan karena akan mudah terlihat. Aku ingin tetap bersembunyi dan menikmatinya seorang diri.


“Tapi aku tak ingin menikmatinya bersama malam.”


“Biarkan dimalam ini tubuhku menggigil kaku, tak berdetak nada jantungku karena disapu sunyinya malam yang kerap menjamu.”


Aku mengulangi kata-kata itu sekali lagi. Aku ingin menghadirkan sebuah cinta dimalam ini. Keberadaan cinta ini kini mulai tak bisa aku kontrol. Cinta ini measa bebas untuk tak diatur karena kebebasan adalah hal yang diinginkan dari cinta. Tak perlu patuh pada norma ataupun aturan yang sering mengekang rasa kebebasan.

Sajak Terlelap


[Sajak Terlelap]



Gelap.

Pekat.

Rasa takut.

Rasa mengantuk.


Ketika gelap menghembuskan rasa takut yang amat sangat, Aku mendekap terdiam dibalik selimut yang membentang. Selimut yang setia menemani Aku melewati malam-malam larut beberapa hari ini. Kesunyian layang-layang datang menguasai seluruh religi yang menghakimi.


Tak ada yang peduli, tak ada selain diriku yang terusik. Semua mata tetap pada titahnya dimalam ini, terpejam. Aku memilih merasakan rasa takut yang merongrong tulang sambil merasakan beku yang teramat sangat menyerang sampai ke tulang.


Sebait rasa kesal yang tertanam kini mulai tumbuh dan bersemi dibelahan hati. Setiap kepedihan berbuah kemandirian menjadikan asaku lantas menggigil tuk hilangkan peluh. Namun yang kurasakan hanyalah jenuh mulai memenuhi saluran-saluran perpanjangan neuronku.


Kepingan demi kepingan Aku susun, pecahan demi pecahan Aku genggam kencang. Melukai tanganku dan menggoreskan hingga menembus tulang putihku. Namun bukannya darah yang mengalir deras melainkan senandung sajak sebelum terlelap dimainkan. Ini mengenai hypne sebelum tertidur.


Kesadaranku diruang kosong melompong membuat Aku tidak beranjak sedikitpun. Aku tidak berpaling, Aku memilih tetap mendekap erat dibalik selimut. Pada detik-detik nafas yang ku hembuskan menjadi bukti bahwa paru-paruku sudah sekarat oleh dingin yang menyeruak masuk.


Udara yang biasanya menyuplai oksigen ke gelembung-gelembung alveoli tidak membuat tubuh ini merasa segar, justru semakin sekarat. Aku sesak nafas.


Saat mataku ingin terpejam Aku ingin mendengarkan alunan tembang manis yang keluar dari bibirmu. Iramanya yang seirama dengan degup jantungku Aku gunakan untuk temani diri ini menjelajahi dunia mimpi.

“Aku ingin tertidur disisimu”

Mainkan. Ajak sekalian bintang dan rembulan untuk bernyanyi dan menari seirama. Undang mereka untuk jadi pelengkap keindahanmu. Mereka menari dan berdendang seirama dengan alunan emosi. Ajak mereka untuk menjadi pendengar yang setia ketika Aku mulai membacakan sajak terlelap ini.


Mainkan. Dendangkan untuk seluruh semesta alam. Dari bait pertama hingga berakhir dibait nada terakhir. Bait tembang yang kau susun dengan ramuan bumbu cinta dan kasih sayang yang bisa memberikan kedamaian hati yang bimbang karena kosong oleh cinta palsu. Bait-bait yang Kau mainkan seolah-olah memiliki nyawa yang tak pernah pergi. Mengisi setiap kekosongan jiwa yang sudah mati sehingga bisa hidup bernafas kembali.


Mainkan. Diri ini belum juga terlelap menjelajahi dunia mimpi. Mata ini terasa kantuk namun tak rela tertutup. Aku ingin membacakan sajak terlelapku dulu, sekedar membuktikan bahwa segala sesuatu dimalam ini sedang tunduk kepada sajakku.


Mainkan. Dengan nada yang halus dan lembut selembut ketulusan cinta yang pernah Aku rajut dengan kekasihku. Ketulusan yang dibangun mulai dari genggaman yang pertama hingga genggaman terakhir. Semenjak awal bertemu hingga penghianatan bermain diantara kita.


Mainkan. Tembang sebelum Aku sejenak tak menatap wajahmu. Terlalu berat diri ini meninggalkan dirimu walau hanya secepat mata ini berkedip. Didalam niatan ikhlasku, Aku tak pernah merelakan kau pergi. Seandainya Aku bisa membuat sayap waktu menjadi melambat dan Aku bisa menikamatinya bersama arti hadirmu disini. Bagiku, inilah pengharapanku pada sajak terlelap.


Mainkan. Aku ingin mendengarkan sekali lagi. Tembang yang membuat diri ini terserang rindu tak ingin lepas. Suatu hari lampau saat sunyi bunyi dilanda desau, ruang dada tak jadi galau. Tembang itu kini menderau dikedua sisi-sisi genderang hatiku membuat sajak terlelap ini terus dibacakan.


Mainkan. Aku ingin sekali menggali makam untuk sepi dan mencari sesosok tembang penghibur hati. Nyatanya tembangmu mulai tak berasa ditengah malam merajai. Tembangmu mulai terusik oleh kehadiran hawa-hawa yang disebarkan oleh malam. Hal in membuat kamu sulit untuk melentikkan jari-jarimu mempimpin symphoni sebelum tidur.


Aku merasa kehilangan tembang yang dulu Aku dengar. Iramanya belum sempat Aku rekam dalam ikatan memori fikiranku. Iramanya dengan mudah hilang begitu saja. Tak pernah meninggalkan sesuatu yang bisa Aku kenang.


Tembang yang kau nyanyikan kini tinggal kenangan tak bertuan. Nada-nadanya pergi disapu raja malam. Aku pasrah mendapati diri ini kembali meregang diwilayah kerajaan malam. Diri ini kini mulai belajar ditinggal oleh sesuatu yang sangat berarti mendalam.

“Aku telah kehilangan sesuatu!”

“Kisah cinta yang tak biasa”

Kamar Sunyi


[Kamar Sunyi]


Kamar sunyi tertanggal 9 Agustus 2006 untuk kekasih tersayangku, makhluk pujaanku yang mengalir diseluruh urat nadiku dan bersemayam dihembusan nafasku.


Setelah sekian lama kini kamar sunyi kembali menghampiri. Kamar sunyi lagi-lagi tercipta akibat sepi. Namun, kali ini tak hanya sepi, hening mencekam ikut-ikutan unjuk gigi. Mereka membawakan hawa sepi yang enggan untuk pergi.


Kamar sunyi kini semakin sunyi. Keheningan tercipta akibat sepi dan dingin yang menjerit. Mereka meneriaki bulu kudukku yang harus terasing menyisakan kesendirian tanpa ampun. Bertempat disuatu sudut didalam mataku yang menyisakan kehampaan mencekam, kamar sunyi terlahir dari arwah-arwah tak bertuan.


Kamar sunyi terlahir akibat sunyi. Detak jarum jam diharamkan bersuara supaya Ia tidak dapat mengganggu keheningan kamar sunyi yang bermartabat. Kamar sunyi membuat aku berhalusinasi sehingga sekejap saja bisa langsung tercipta apa yang melintas diantara pikiran mayaku. Ketika kutipan kata-kata jadi kedok belaka, kamar sunyi semakin sunyi.


Kamar sunyi yang berada dalam kepalsuan bayang-bayang buram dan pudar serta datar menyisakan jejak-jejak tak bertuan. Kenangan kamar sunyi menggungkapkan sebuah perjanjian suci.


Semua yang tersisa hanyalah kehampaan.

“Bagi siapa saja yang memiliki gambar cinta?"

“Siapa saja yang mempunyai kanvas rindu?”

“Siapa saja yang menyeret kaki melangkah ke sana?”


Maka segerakanlan tempelkan ke liang tenggorokanmu supaya cinta tak dilumat oleh kamar sunyi. Jangan lupa juga kunci segera kamarmu dengan kunci ganda supaya kamar sunyi tak mampir menjamu. Ketika semua waktu dan hari menjadi sunyi, kamar sunyi mulai merajai seisi ruang dimensi. Kamar sunyi datang menghadirkan kekuatan yang bisa membuat setiap raga takluk dan tunduk pasrah.


Lagu kamar sunyiku dimainkan. Iramanya mengundang angin-angin lugu untuk datang karena diundang oleh untaian asa kalbu. Aku ingin membuang segala tegar yang menggebu, karena cinta itu ada dikamar sunyi. Saat semua lagu berubah jadi sendu.


Kamar sunyi tetaplah sunyi. Aku mainkan gitar namun tetap sepi. Aku bereriak kata namun lantas sunyi. Aku pecahkan gelas dan kupukul genderang, lantas tetap saja sepi dan sunyi. Kamar sunyi menelan semua suara dan bahasa yang mengganggu kekhusyukannya.


Kamar sunyi tercipta akibat sepi. Disaat hujan rintik yang mendesau membuat aku seolah-olah mengigau. Hawa sepi yang terbayang membuat nafas ini semakin sulit dihirup, tangan ini sulit digerakkan dan nada detak jantungku mulai sulit untuk dikendalikan. Seketika itu pula dada ini ikut tertindih oleh hawa sepi yang mencekam.


Kamar sunyi tetaplah sunyi. Ketika ada seseorang yang sendiri tak mengerti hilir mudik untuk menepi Ia mengigatkan kepada semua raga yang ingin mati untuk menikmati kamar sunyi. Seseorang yang sendiri mengajak Aku untuk diam didalam kamar sunyi gelap. Lantas Aku mengikuti apa saja yang dikatakannya tanpa berfikir tentang akibat yang bisa ditimbulkan oleh kamar sunyi.


Kamar sunyi berada didalam semua hal yang terburuk memaksaku terdiam tak berucap, tak berfikir dan tak bergerak. Kamar yang membuatku tersipu dingin memaksa diri ini untuk tetap berada diantara dinding yang mengkerangkengku. Dinding - dinding yang mengamati dan pintu yang mencoba halangi serta jendela - jendela yang berlaku seperti jeruji kokoh seolah ingin menunjukkan bahwa kamar sunyi sangatlah merajai.


Aku terkekang di malam ini, suaraku parau menyeruak setiap jengkal dinding yang membentang. Bila aku bersuara sedikit saja, suaraku akan segera ditelan oleh kisi-kisi kamar yang kerap menagih suara untuk dijadikan santapannya.