Senin, 05 Oktober 2009




[Malam]



Tidak seorangpun ada yang mengerti ataupun memahami. Jutaan titik-titik bergandengan membentuk sebuah goresan garis lurus kemudian beberapa garis lurus saling bergandengan membentuk kotak. Kotak-kotak yang bersebelahan bahu membahu membentuk balok. Balok yang kokoh saling susun menyusun membangun sebuah ruangan raksasa.


Sebuah ruangan raksasa yang memaksaku merasakan tak ada kawan, terkunci dan tergembok jauh dari kerumunan ramai. Aku tak pernah mengerti kenapa Aku bisa berada didalam ruangan raksasa ini. Tak seorangpun ada yang pernah mengetahui mengapa titik-titik itu membentuk misteri pada kalimat-kalimat menyapa sepi hingga pada suatu ketika terjawab pada sebuah mimpi semalam panjang. Mimpi yang sempurna tentang hari kemarin, esok dan lusa.


Biarkanlah titik – titik itu tetap menjadi misteri. Bersembunyi dalam hentakan seribu satu kebisuan yang kerap menuai dera lantas menciptakan sepi. Titik-titik tersebut terbentuk akibat adanya kesamaan perasaan dan visi dimasa depan. Titik-titik juga bisa bergabung membentuk sesuatu yang abstrak, sesuatu yang tak bisa dicerna maknanya.


Saat ini titik-titik itu sudah menjelma menjadi sesuatu yang amat kokoh. Titik-titik itu telah berubah dalam proses metamorfosis yang amat menyakitkan. Mereka telah mempelajari bagaimana caranya untuk mengerti arti kebersamaan dengan menyampingkan ego serta perbedaan yang menonjol.


Titik-titik membentuk suasana malam yang perkasa. Semua hal yang sudah masuk ke dalam ruangan suasana malam akan merasakan kematian yang amat sangat. Ruangan raksasa yang tertutup rapat. Kematian malam tercipta dari ruangan raksasa tersebut.


Ketika ruangan raksasa mulai terbuka, aroma kematian bisa keluar. Aroma kematian itu akan merasuki setiap jiwa yang sedang terlelap disepanjang malam. Aroma kematian itu sepertinya ingin menagih janji yang pernah diucapkan oleh penguasa malam. Aroma kematian bebas memilih siapa saja yang akan dijadikan mangsanya, tak terkecuali Aku.


Dimalam ini aku kembali terbangun pada sisa-sisa penghujung malam yang belum sempat aku nikmati. Rasa dingin mengajari aku untuk membiasakan diri ini tak dipeluk dan aku juga mulai mempelajari hidup tak bertemankan dirimu. Disaat ini juga diriku berjuang mengarak wujudmu yang tak pernah ada, tak tampak oleh indera maupun oleh panca indera. Aku ingin menghadirkannya didalam malam yang panjang.


Aku butuh sesuatu untuk dipeluk. Tak penting bentuknya seperti apa ataupun wajahnya sejelek apapun.


“Yang penting aku memiliki teman.”


Jantungku mulai bersymphoni kesunyian malam. Aroma kematian mulai menaungi angkasa kotaku. Dingin yang menyerang mencoba cegah dan memangari aku untuk berfrase tentang wujudmu. Sepertinya ada yang tak lengkap dimalam ini.


“Mengapa ada yang kurang?”


Aku ingin menatapmu dan mulai menyentuhmu, itu yang aku mau. Begitu banyak cerita yang tak sempat dibacakan karena malam memaksa aku untuk bersikap manis melewati rasa takut yang membayangi. Aroma kematian mulai aku hirup dan segera memenuhi seisi paru-paruku menjadikan dadaku merintih ketakutan.


“Inikah rasa takut yang aku rasakan?”


Didalam sebuah ketakutan yang membayangi jika raga ini tak bisa bernafas lagi. Aku belum sempat menuliskan surat wasiat pada kekasihku. Banyak hal yang belum sempat aku katakan pada orang lain.


“Aku masih ingin bisa bernafas!”


Jiwaku menolak terpejam. Malam kacau memasuki fikiranku, Ia merobek layar yang baru saja dibentangkan. Semua tampak hening dipikiranku. Suara-suara yang memasuki setiap jengkal genderang audio kini tak berasa lagi. Aku sedang dalam kondisi terkurung dan terkunci.

Aroma kematian menciptakan malam yang semakin malam. Malam yang tercipta terasa lebih pekat dan gelap. Para penghuni malam terpaksa terusir dari kedudukan yang dititahkan pada mereka.

”Kepada siapa aku meminta bantuan?”

“Pada bulan?”

Malam ini bulan tak tampak.

“Pada bintang?”


Sudah beberapa hari ini hujan menghujam kotaku, mengajak awan gelap sehingga menutupi angkasaku.

“Pada malam?”


Aku takut dengan malam, gelap yang sering Ia tawarkan membuatku merasa ngeri. Jiwaku ingin memberikan kepastian pada malam yang panjang. Aku tak ingin malam menemani ku.

“Harus ku sesalkan kemana keraguan ini?”

Sedangkan mulut ini terbungkam tak kuasa berucap sebuah kata-kata pertolongan. Aku tak ingin berhenti terlalu awal walupun jalanku sudah dipagari oleh norma-norma yang dikesampingkan. Aku juga tak ingin maju terlalu didepan karena akan mudah terlihat. Aku ingin tetap bersembunyi dan menikmatinya seorang diri.


“Tapi aku tak ingin menikmatinya bersama malam.”


“Biarkan dimalam ini tubuhku menggigil kaku, tak berdetak nada jantungku karena disapu sunyinya malam yang kerap menjamu.”


Aku mengulangi kata-kata itu sekali lagi. Aku ingin menghadirkan sebuah cinta dimalam ini. Keberadaan cinta ini kini mulai tak bisa aku kontrol. Cinta ini measa bebas untuk tak diatur karena kebebasan adalah hal yang diinginkan dari cinta. Tak perlu patuh pada norma ataupun aturan yang sering mengekang rasa kebebasan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

....aku menorehkan secarik bait pusisi dibalik sela-sela awan yang menangis....