Minggu, 11 Oktober 2009

Balada (The Sequel) - Behind The Story


BALADA (THE SEQUEL)

Behind The Story



18 Juni 2006 7:50pm

Pelataran air mancur, Plaza Indonesia


Aku berdiri di dekat pintu masuk Plaza Indonesia. Mataku terpaku memandangi jam di layar ponselku. Sudah lewat duapuluh menit semenjak janji pertemuanku dengan seorang pemuda aku buat. Jantungku berdegup cepat. Aku gugup. Aku memberianikan diri menemui seorang pemuda yang aku kenal lewat situs komunitas pertemanan yang sedang popular.


To: Ian
From : Ko2
Date/time: 18/06/2006 – 8:10pm
Message:
Ian dan sampai dimana?


To: Ko2
From : Ian
Date/time: 18/06/2006 – 8:14pm
Message:
Dideket pintu masuk yang ada air mancurnya.


Pemuda itu belum tahu posisiku. Aku juga bingung di mana posisiku berada. Ini pertama kalinya aku ke Plaza Indonesia. Aku merasa tabu untuk masuk ke dalam Plaza. Plaza tersebut begitu elegan dan eksklusif tidak sebanding dengan diriku yang biasa saja.

Kring… kring….

Pemuda yang ingin aku temui menghubungiku.

“Disebelah mana?”

“Pokoknya dipintu masuk yang ada air mancurnya”

“Ok, koko kesana!”

Jantungku semakin berdegup kencang. Aku semakin gugup. Keringat mengucur disekujur tubuhku. Aku melangkah ke tepian jalan raya menjauhi pintu masuk. Masih ada sekian detik untukku supaya bisa segera pergi meninggalkan tempatku berdiri. Masih ada kesempatan buatku menghilang dan tak memulai sebuah pertemuan yang akan menghasilakan sebuah cerita.



Aku bingung. Aku sudah terlanjur berjanji dengan pemuda tersebut. Aku memalingkan badanku untuk tak menatap ke arah pintu masuk. Aku segera berdoa supaya tiba-tiba saja pemuda itu ada keperluan mendadak dan membatalkan janjinya untuk bertemu denganku.


Tapi sepertinya sudah terlambat. Aku bisa mendengar sepasang langkah kaki mendekat ke arahku. Aku mencoba menyangsikan untuk tidak mendengarnnya. Aku tak bisa memutar sang waktu. Pemuda itu berdiri dibelakangku. Kita hanya berjarak beberapa meter saja. Parfum yang ia kenakan sudah bisa aku cium. Pemuda itu begitu dekat.



Aku memberanikan diriku untuk membalikkan tubuhku menghadap pemuda tersebut. Aku menatapnya dan pemuda itu juga menatapku. Mata dengan mata saling memandang. Pemuda itu tersenyum ke arahku. Kami tidak begitu mengenal satu sama lain. Tapi aku merasa pemuda itu telah ada di dalam tubuhku beratus-ratus tahun yang lalu. Menunggu untuk dibangkitkan.


Aku tak sanggup untuk berkata-kata. Kata-kata di dalam kalimat terasa hampa. Aku berdiri di depan seorang pemuda yang aku kagumi. Aku tak mengerti kenapa aku memberanikan diriku untuk bertemu dengannya. Sebuah keputusan yang menentukan segalanya. Keputusan yang menghasilkan cinta dan air mata.

Kami berkenalan. Setengah perasaan di dalam lubuk hatiku masih menyangsikan pertemuan kami. Aku tak ingin terseret terlalu jauh. Setengah bagiannya lagi menginginkan supaya aku bisa tetap bersamanya lebih lama. Pemuda itu mengajakku untuk makan malam. Hatiku mengatakan iya namun mulutku mengatakan tidak. Aku bingung.


Aku tahu sekali pertemuan itu akan terjadi dan entah kenapa aku percaya sejak awal bahwa dia selalu mencariku selama ini. Mata itu bicara. Mata itu merindukan kedatanganku. Mata itu tersenyum memandangku. Pertemuan itu berlanjut. Lakon sandiwara mulai dimainkan. Aku dan pemuda tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

....aku menorehkan secarik bait pusisi dibalik sela-sela awan yang menangis....